BAB 3
HUKUM PERDATA
Hukum
perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di
Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat
belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa
disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah
diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak
Tanggungan, UU Kepailitan.
1.
Hukum
Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten
van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van
Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini
diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt.
Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan
berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan
aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap
dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan
Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang
Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
2. Sejarah Singkat Hukum Perdata
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di
Indonesia, tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa.Bermula di benua Eropa,
terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya
Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi
pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu
keadaan hukum di eropa kacau balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai
peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu
kepastian hukum. Akibat ketidakpuasaan, sehingga orang mencari jalan kearah
adanya kepastian hukum, lesatuan hukum dan keseragaman hukum.Pada tahun 1804
atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan
yang bernama “Code
Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”,
karena Code Civil des Francais ini adalah merupakan sebagian Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan
dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu
juga dipergunakan Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jernonia dan Hukum Cononiek.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman
Romawi antara lain masalah weseel, asuransi, badan-badan hukum. Akhirnya pada
jaman Aufklarung (jaman baru sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada
kitab Undang-undang tersendiri dengan nama “ Code de
Commerce”.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-181),
maka Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het
Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code
Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).Setelah
berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada
tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di
Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman dan setelah beberapa tahun
kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai
memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5
Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek)
dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk
Nasional-Nederland isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code
Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada tahun 1948, kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland
ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik
Hukum).Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH sipil (KUHP) untuk BW
(Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
3.
Pergerakan
dan Keadaan Hukum Di Indonesia
Unsur politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia
seperti Negara yang tidak mempunyai hukum.
Banyak masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh unsur politik. Bahkan Ketua KPK pun mengakui salah satu
masalah Negara yaitu proses
pemberantasan korupsi terhambat oleh politik(Republika, Rabu, 27 Juli
2001). Kasus-kasus hukum saat ini
cenderung melibatkan organisasi politik
dan jabatan. Syafi’i ma’arif
menyatakan jika keadaan hukum saat ini
tidak segera diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan
mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para
penguasa-penguasa Negara. Pada masa
kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa
Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai
sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi salah
satu faktor penyabab hancurnya penegakkan hukum di Indonesia.
Faktor-Faktor Hancurnya Sebuah Penegakkan Hukum:
1. Penegak hukum menegakkan hukum
sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan.Contoh : pencurian sandal jepit yang
terjadi beberapa waktu yang lalu.
2. Penegak hukum menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum dan keadilan seharusnya berjalan
seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan hukum namun juga penting
memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak hukum perlu menegakkan
keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu aturan hukum.
Ketidakadilan Dalam Hukum
Dunia hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam
dari berbagai masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana tidak, selain tidak benar-benar
dijalankan berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara di Indonesia juga tidak
seimbang. Terlihat jelas bahwa
kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil seperti contoh di atas
yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat pemerintahan yang
kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan jabatan tinggi,
sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan tanggapan yang minim
dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia.
Hal tersebut membuktikan bahwa hukum di Indonesia tidak sesuai dengan
hukum Negara yaitu sila kelima dalam pancasila yang bunyinya : “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
4. Sistematika
Hukum Perdata Di Indonesia
Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum
perdata terbagi ke dalam 4 kelompok yaitu:
a. Hukum perorangan (Personenrecht)
Beberapa ahli hukum menyebutnya dengan istilah hukum pribadi. Hukum
perorangan adalah semua kaidah hukum yang mengatur mengenai siapa saja yang
dapat membawa hak dan kedudukannya dalam hukum. Hukum perorangan terdiri dari:
·
Peraturan-peraturan tentang manusia
sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domestik dan catatan sipil.
·
Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
Meskipun demikian, Burgerlijk wetboek
atau kitab undang-undanag hukum perdata yang merupakan sumber hukum perdata
utama di Indonesia memiliki sistematik yang berbeda. Burgerlijk wetboek terdiri
dari 4 buku, yaitu:
Buku I, tentang Orang(van persoonen);
mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang
mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara
lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan.
Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah
dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.
Buku II, tentang Kebendaan(van zaken);
mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak
kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda
berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat
tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya
selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda
tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah,
sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di
undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai
penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di
undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku III, tentang Perikatan(van
verbintennisen); mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga
perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda),
yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di
bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari
perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul
dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu
perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang
(KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer,
khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku IV, tentang Daluarsa dan
Pembuktian(van bewijs en verjaring); mengatur hak dan kewajiban subyek hukum
(khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum
perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
SUMBER
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab2-hukum_perdata.pdf
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/sejarah-hukum-perdata-indonesiaaspek-hukum-dlm-ekono
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
http://www.jurnalhukum.com/sistematika-hukum-perdata-indonesia/
http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/mencari-solusi-atas-krisis-penegakan-hukum-indonesia-dg-penyehatan-penegakan-hukum-berkeadilan.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/sejarah-singkat-hukum-perdata-2/